Cinta Tak Pernah Sederhana : Menyulap Irisan Puisi Menjadi Konser Musikal

Cinta Tak Pernah Sederhana : Menyulap Irisan Puisi Menjadi Konser Musikal

Ada suatu macam perasaan yang magis; dingin, remang, dan pelan-pelan malah berpendar menjadi romantis saat bibir tirai beludru berwarna merah itu menganga. Lalu, seorang Perempuan Malaikat dengan atasan semacam jubah berwarna putih berdiri di tengah-tengah panggung. Ia menjentikkan kedua lengannya dan diayun-ayunkan dengan tempo yang amat laun – seirama. Wajah beserta tubuhnya tampak bercahaya bak rembulan yang menggantung di langit malam. Perempuan itu tersumbangi sorotan cahaya lampu yang apik, serta visual yang melatari dada panggung yang pas membikin sang Malaikat tadi seolah betul-betul menyembul dari pintu taman Firdaus.

“Cinta tak pernah sederhana..” buka Chelsea Islan sang Perempuan Malaikat itu.

“Awal mulanya adalah kata. Kata-lah yang membuat kita mengenal dunia. Lalu muncul manusia pertama, yang pengetahuan pertamanya adalah memahami nama-nama yakni bahasa,” lanjutnya lagi yang membikin para penonton semakin memasang indera dengan baik.

S

ebagai seorang pelakon yang mengawali pembukaan pertunjukkan, Chelsea Islan dirasa mampu melelehkan suasana – yang di awal terasa dingin. Kemudian, seraya menutup kalimat terakhir, Perempuan Malaikat itu dikuntit beberapa makhluk yang mengenakan jubah serba hitam. Mereka mengitari sang Malaikat, melangkah perlahan-lahan dengan menjingkitkan kaki, dan kemudian berjingkrak ke sana ke mari, lalu berbondong-bondong naik ke atas jembatan yang nangkring di panggung itu. Diiringi dentuman musik, makhluk-makhluk tadi berhasil bersinggah di atas jembatan dan meninggalkan sang malaikat.

Perempuan Malaikat minggat dari wajah panggung. Cahaya lampu dimainkan menjadi redup. Dan ketika musik dibikin klimaks sebagai tanda penutup, tiba-tiba salah satu dari makhluk tersebut menelanjangi jubahnya. Dan sontak, aksi tersebut menukar ketegangan penonton. Laki-laki berambut galing dengan potongan yang selintas macam Robin Hood itu adalah jelmaan dari makhluk berjubah hitam. Lelaki itu ialah Reza Rahadian, yang berperan sebagai Laki-laki Adam.

Dia seorang penyair. Dan katanya, dia adalah penyair yang pertama di surga. Tapi dia kesepian. Dia ingin mengenal cinta. Semua keresahan sekaligus pintanya ia tumpahkan kepada kata-kata di atas jembatan itu. Sebagai latar, visual berganti menjadi gambar sebuah pohon yang menyala-nyala. Dan penyair itu seolah tengah bermonolog di atas jembatan yang dipayungi persis rimbunan kepala dedaunan. Beberapa saat kemudian, muncullah Marsha Timothy sebagai Perempuan Hawa yang menjadi pasangan Laki-laki Adam. Mereka ingin mencintai dengan sederhana, tapi cinta memang tak pernah sederhana, hingga sepasang kekasih itu kemudian turun ke dunia: menyaksikan senja pertama di bumi, saling mencintai dan berpisah.

Potongan cerita tersebut adalah suguhan suasana dari pertunjukkan konser musikal puisi-puisi cinta dengan tajuk Cinta Tak Pernah Sederhana – yang digarap PT Balai Pustaka (Persero) dan Titimangsa Foundation. Dan pertunjukkan Cinta Tak Pernah Sederhana itu gelar di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki pada hari sabtu 16 Maret 2019 dan minggu 17 Maret 2019.

Pun tak berlebihan bilamana konser musikal ini dikatakan sebagai pertunjukkan yang belum pernah ada dan begitu istimewa. Sebab kendati demikian, pada pertunjukkan Cinta Tak Pernah Sederhana merupakan hasil kecerdasan sang punggawa Titimangsa Foundation Happy Salma dalam menemukan sebuah ide yang berbeda. Juga tak ketinggalan pula, ke dalaman wawasan puisi dan sastra Indonesia yang terawat oleh Agus Noor, ikut andil menjadi sutradara yang amat tangkas dalam membantu merealisasikan ide-ide cemerlang itu. Serta dengan bantuan Achmad Fachrodji sebagai Direktur Utama PT Balai Pustaka (Persero) yang ikut bekerja sama dalam menggelar pertunjukkan tersebut.

Dalam produksi ke-30 Titimangsa Foundation, Cinta Tak Pernah Sederhana menjadi barang langka dari yang pernah ada pada sebelumnya. Bagaimana tidak, dalam pertunjukkan ini semua naskah yang dipinjam merupakan puisi-puisi dari sastrawan Indonesia. sedikitnya ada 26 penyair Indonesia yang penggalan puisinya dijadikan dialog dalam pementasan ini. Penyair-penyair tersebut di antaranya Agus Noor, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, WS Rendra, Chairil Anwar, serta Putu Wijaya.

Puisi-puisi tersebut disusun sedemikian kalis hingga menjadi sebuah percakapan yang senada, lalu bermutasi pula menjadi sebuah nyanyian, dan tervisualisasikan ke dalam tata panggung atau artistik panggung nan cantik yang amat memanjakan pandangan para penonton.

Cinta Tak Pernah Sederhana ini pun didukung para pelakon Indonesia yang sudah patut diacungi jempol. Para pelakon tersebut yaitu Reza Rahadian, Marsha Timothy, Chelsea Islan, Atiqah Hasiholan, Sita Nursanti, Teuku Rifnu Wikana, dan Butet Kartaredjasa. Ada pun yang berperan sebagai narator pada pementasan ini; Iswadi Pratama, Wawan Sofwan, dan Warih Wisatsana.

Ada pun keunikan lain dari pementasan Cinta Tak Pernah Sederhana adalah para lakon yang tak hanya sekadar berakting. Namun mereka diuji untuk dapat mengucapkan puisi menjadi suatu hal yang tampak wajar seperti perbincangan pada umumnya. Dan beberapa lakon dalam pertunjukkan ini pun diminta untuk menyumbangkan suara dalam menyanyikan sebuah puisi.

Selama pertunjukkan, adegan tidak melulu tersajikan dengan balutan bumbu-bumbu keromantisan sekaligus kegetiran cinta yang monochrome. Selipan adegan hiburan pun ditawarkan di pertengahan pertunjukkan. Atiqah Hasisholan yang berperan sebagai Perempuan Malam mampu memecahkan suasana dengan tarian dangdutnya sembari menyanyikan puisi “Dunia Dangdut” milik Joko Pinurbo. Perempuan Malam itu masyuk di wajah panggung mengenakan potongan serba merah yang begitu minim mempertunjukkan sebagian besar kemolekan tubuhnya. Pada saat adegan perempuan malam hadir, tata panggung diubah sedemikian realis persis berlatar di suatu warung remang-remang pinggiran kota. Gerobak warung yang lengkap dengan berenceng-renceng isi, berpasang-pasang meja dan bangku, beberapa lakon pendukung yang seolah adalah kawan-kawan Perempuan Malam yang tengah bercengkerama sembari menunggu pelanggan, dan seorang tukang somay yang sepanjang adegan hanya mengusap-usap sepeda kumbangnya.

Pementasan berlangsung sekiranya dua jam. Dan mungkin, bagi kebanyakan penonton durasi itu sangatlah kurang. Karena saja pertunjukkan Cinta Tak Pernah Sederhana betul-betul menyirap para penonton seolah masyuk ke dalam sebuah alur cerita tersebut. Dan sepanjang jalannya pertunjukkan, puisi-puisi yang dipinjam sebagai dialog para lakon membikin hati penonton tergelincir.

Semua mata para penonton seolah terpasung kepada panggung yang cukup megah itu. Sekali lagi, dan dirasa tak berlebihan, penonton berdecak kagum, dan meluapkan segala emosi yang didapat selama pertunjukkan dengan menepuk tangan sekeras tulang seraya bersorak-sorai di penghujung pementasan. Dan, apa betul cinta memang tak pernah sederhana? Alur pada kisah percintaan memang berputar pada poros yang seolah itu-itu saja. Tapi orang yang jauh dari cinta adalah orang yang kesepian. Ah.. mungkin pertanyaan itu masih mengiang di benak para penonton konser musikal puisi-puisi Cinta Tak Pernah Sederhana, dan silakan saja disimpulkan sendiri, sebab membicarakan perihal cinta memang tak pernah sederhana!

Salam,
Penulis (Fahriza Nugraha)

(2) Comments

Leave a Reply