Melongok Makam Sang Maestro Lukis di Kota Bogor

Melongok Makam Sang Maestro Lukis di Kota Bogor

D

i bawah langitnya yang sendu, Bogor miliki warna-warni cerita di dalamnya. Pun ibarat arsip, Bogor menyimpan banyak bukti-bukti sejarah. Mulai dari sejarah zaman kerajaan hingga zaman penjajahan. Bogor juga disebut sebagai kota ternyaman, terbukti banyak tokoh terkemuka yang ingin dan sudah bersemayam di kota dengan curah hujannya yang tinggi ini. Sebut saja Soekarno yang memilih Bogor sebagai tempat peristirahatannya di usia senja. Juga sang Maestro pelukis yang namanya harum hingga pelosok dunia, Raden Saleh Sjarif Bustaman. Raden Saleh lahir di Terbaya, Semarang pada 1807, dari seorang ibu bernama Mas Ajeng Zarip Husen dan ayah bernama Sayid Husen bin Alwi bin Awal, cucu buyut Asisten Residen Terboyo Kyai Ngabehi Kertosobo Bustam. Sejak berusia 10 tahun ia hidup di bawah asuhan pamannya yang menjadi Bupati Semarang, yaitu Raden Adipati Surohadimenggolo yang bersimpati pada perjuangan Pangeran Diponegoro. Ketika memasuki usia tua, Raden Saleh memilih kota Bogor sebagai tempat peristirahatan. Di balik pemandangan punggung Gunung Salak, Raden Saleh menikmati hari tuanya dengan melukis sembari ditemani sang Istri, Raden Ayu Danurejo. Raden Saleh meninggal di Bogor pada 23 April 1880 – yang makamnya sempat terbengkalai bahkan hilang laksana ditelan bumi.

Pada tahun 1923, di bawah rerimbun tumpukan ilalang, Mas Adoeng secara tidak sengaja menemukan nisan berbahan marmer dengan tulisan huruf jawa kuno. Setelah ditelaah baik-baik, ternyata nisan tersebut adalah makam dari Raden Saleh. Adalah Mas Adoeng, orang yang pertama kali menjadi saksi sekaligus juru waris makam tersebut. Pada September 1953 Presiden Soekarno mempugar koplek makam dengan bantuan seorang arsirek bernama F. Silaban. Presiden pertama Indonesia itu pun tak pernah absen berziarah ke makam sang maestro, beliau selalu menyempatkan berziarah ke makam Raden Saleh bila ada kunjungan ke Bogor. Kebiasaan Soekarno bila berziarah adalah selalu membuka alas kaki dan menghormatkan tangan ke arah komplek makam – terlebih karena Soekarno memang pecinta seni. Amanah Soekarno betul-betul dijalankan dengan baik oleh Mas Adoeng. Terlihat dari bangunan komplek makam yang begitu terawat dan terjaga.

Kini, walau juru waris telah ada di tangan generasi ketiga. Komplek makam masih berpenampilan asri. Dari luar pagar terlihat rerimbun pohon-pohon berukuran sedang tersebar di hampir setiap sudut. Suasana magis pun tak terasa. Boleh dikatakan kembali bahwa suasana komplek makam itu terasa nyaman layaknya taman. “Pada tahun 2008 komplek makam dipugar dan diperluas kembali dengan dibangunnya saung budaya yang didirikan oleh Dinas Kebudayaan Kota Bogor,” tutur Sandra selaku juru waris ketiga. Sandra adalah juru waris ketiga yang tercatat sebagai cucu dari Mas Adoeng Wira Atmaja. Perempuan berusia 47 tahun itu bersukarela merawat komplek makam setelah juru waris yang kedua, yakni Isun Sunarya. Jadi Mas Adoeng yang menemukan makam Raden Saleh itu kakek saya, lalu dilanjut sama uwa saya yang sekarang sudah sepuh, dan akhirnya satu tahun kebelakang saya yang menjadi juru makam ini,”

Untuk masuk ke dalam komplek makam tentunya tidak dipungut biaya. Makam yang kini telah dijadikan sebagai cagar budaya itu buka setiap harinya mulai pukul sembilan pagi hingga pukul lima sore. Para penziarah pun bukan hanya sekadar dari masyarakat Bogor. Lebih dari itu, turis manca Negara pun sudah ada yang pernah berziarah ke makam sang Maestro. Seperti apa yang dikatakan Sandra, pada tahun lalu dua turis asal Jerman pernah mendatangi komplek makam ini. Mereka mengetahui keberadaan makam melalui internet. Sepasang turis yang kebetulan adalah pasangan suami istri penggiat seni nampak kagum dengan keberadaan dan suasana komplek makam. Selain adanya makam Raden Saleh beserta istrinya yang berdampingan, di samping saung budaya yang letaknya membelakangi dinding latar peringatan Raden Saleh juga hadir tujuh makam lainnya yang konon merupakan keluarga Raden Panoeripan. Di komplek makam, setiap tahunnya senantiasa diadakan kegiatan sebagai bentuk penghormatan kepada sang maestro, seperti pada saat memperingati hari kelahiran Raden Saleh, hingga hari pahlawan. Biasanya, yang menggelar acara di komplek makam tersebut adalah komunitas penggiat seni dan para budayawan. Kendati demikian, Sandra juga menyebutkan bahwa dengan adanya para budayawan sangat membantu dalam merawat komplek makam. Terlebih karena dana perawatannya sendiri belum terkucurkan dari pihak lain. (FN)

Leave a Reply